Sejumlah kalangan mendorong agar penelitian produk nikotin alternatif (Alternative Nicotine Delivery System/ANDS) seperti rokok elektrik atau vape terus digencarkan. Penelitian dibutuhkan guna memberi masukan untuk kebijakan dan edukasi bagi masyarakat, utamanya perokok dewasa agar dapat menemukan alternatif dari rokok konvensional.

Sejumlah kalangan mendorong agar penelitian produk nikotin alternatif (Alternative Nicotine Delivery System/ANDS) seperti rokok elektrik atau vape terus digencarkan. Penelitian dibutuhkan guna memberi masukan untuk kebijakan dan edukasi bagi masyarakat, utamanya perokok dewasa agar dapat menemukan alternatif dari rokok konvensional.

Sebab menurut data organisasi kesehatan dunia (WHO), angka prevalensi perokok pria dewasa Indonesia tertinggi di dunia, yakni sebesar 76,2%. Sementara itu data Riskesdas 2018 menunjukkan, prevalensi merokok di Indonesia adalah 28,9% untuk orang yang berusia lebih dari 10 tahun, atau hampir setara dengan 70 juta perokok.

“Kita dapat membuat perubahan yang nyata untuk banyak orang dengan cara memanfaatkan teknologi dan ilmu pengetahuan yang ada,” ujar Ketua Dewan Penasihat, Pusat Hukum Kesehatan, Kebijakan dan Etika Universitas Ottawa, David Sweanor dalam diskusi bertajuk ‘Apa yang Dikatakan Peneliti tentang Alternatif Merokok?’ beberapa waktu lalu.

Sweanor berujar, penelitian yang mendasari setiap informasi tentang ANDS amat penting dilakukan untuk memberikan informasi faktual kepada masyarakat bahwa produk-produk alternatif berpotensi mengurangi risiko yang disebabkan merokok.

“Kita punya kesempatan melalui sejumlah terobosan. Kita punya teknologi, regulasi serta ilmu pengetahuan yang akan membawa perubahan besar ke arah yang lebih baik,” katanya.

Dalam diskusi tersebut, mantan Direktur Riset Kebijakan dan Kerja Sama WHO yang juga Profesor di Sekolah Kedokteran Yong Loo Lin, Universitas Nasional Singapura (NUS), Prof Tikki Pangestu mengatakan, risiko ENDS lebih rendah sekitar 90%-95% dibanding rokok konvensional yang dibakar.

“Vaping itu tembakaunya enggak dibakar. Pembakaran itu yang menyebabkan pelepasan zat-zat beracun yang ada di asap rokok. Vaping itu uap, bukan asap,” ucap Tikki.

Baginya, keberadaan vape sebagai produk alternatif akan sulit didukung tanpa penelitian yang memadai. Padahal, sejumlah penelitian di negara-negara maju telah membuktikan bahwa kehadiran vape mampu menjadi alternatif bagi para perokok konvensional.

“Meskipun ANDS tersedia di Indonesia, namun belum ada kerangka regulasi yang komprehensif dalam mengatur produk-produk tersebut. Akibatnya, perokok dewasa tidak memiliki akses produk alternatif,” sambungnya.

Akibat minimnya penelitian lokal, Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pun menganggap ANDS sama bahayanya dengan rokok konvensional. Oleh karenanya, perlu keterlibatan semua pihak yang relevan dalam industri produk nikotin alternatif, seperti pemerintah, pakar kesehatan, akademisi, pelaku bisnis, dan asosiasi sebagai bahan pertimbangan Pemerintah nantinya dalam mengambil sebuah kebijakan.

Sementara itu, Plt Staf Ahli Menteri Bidang Infrastruktur dan Ketua Konsorsium Riset dan Inovasi Covid-19 Kemenristek, Ali Ghufron Mukti mengatakan, saat ini pemerintah melalui Kementerian Perindustrian telah berinisiatif untuk mengembangkan standar bagi produk-produk ANDS, mulai dari produk tembakau dipanaskan di tahun 2020, dan dilanjutkan dengan produk vape pada tahun 2021.

“Setelah selesai, standar ini dapat memberikan jaminan bagi konsumen dan menjadi langkah penting menuju peraturan yang lebih komprehensif di industri ini,” ujar Prof Ali Ghufron.

Sumber: https://ekbis.rmol.id/read/2020/08/06/446892/penelitian-soal-produk-rendah-risiko-penting-digencarkan-di-tengah-minimnya-regulasi