Hingga saat ini penggunaan produk tembakaualternatif belum teregulasi di Indonesia.
Namun jika dilarang, pengamat Kesehatan Publik, dr Tri Budhi Baskara, menilai hal itu dikhawatirkan memberi dampak buruk, ketimbang manfaatnya.
Tidak hanya perokok dewasa, pemerintah juga dirugikan karena permasalahan kesehatan yang ditimbulkan dari rokok seperti kanker paru-paru, penyakit jantung, stroke, dan diabetes yang mungkin meningkat.
“Pemerintah diharapkan dapat secara bijak dan mau belajar dari sejumlah negara, seperti Inggris, Selandia Baru, dan Jepang dalam menyikapi hadirnya produk alternatif sebagai solusi untuk mengatasi masalah rokokdi Indonesia. Regulasi berlandaskan kajian ilmiah dibutuhkan agar mendorong perokok dewasa sepenuhnya beralih ke produk yang lebih rendah risikonya ini,” tutur Tri Budhi, dalam siaran pers, Jumat, 7 Agustus 2020.
Sementara Direktur Operasional Foundation for International Human Rights Reporting Standards (FIHRRST), Bahtiar Manurung, menyatakan, pemerintah perlu bersikap bijak dalam menanggapi kehadiran produk inovatif.
“Untuk mendukung produk-produk yang menerapkan pengurangan risiko, pemerintah seharusnya dapat memulai dengan mengambil sikap netral dalam menilai produk-produk tersebut,” ujarnya.
Bahtiar menjelaskan pemerintah dapat mendorong adanya kajian ilmiahterhadap produk inovatif. Dengan begitu, pemerintah bisa membuat kebijakan yang berdasarkan fakta.
“Untuk dapat mengambil sikap atas produk-produk pengurangan risiko harus melalui dukungan penelitian ilmiah. Pemerintah seharusnya tidak hanya mengkritik penelitian yang didukung oleh industri atas produk-produk inovasinya, tetapi juga mempertimbangkan penelitian yang dilakukan peneliti independen atau bahkan melakukan penelitian sendiri,” katanya.
Menurut Bahtiar, pemerintah sudah seharusnya mempunyai pengetahuan lebih banyak mengenai produk tersebut dan terus melakukan penelitian terhadap informasi yang tersedia.
Sebab akan sulit mengedukasi dan melindungi publik bila pemerintah tidak memiliki pengetahuan yang mendalam.
Nantinya, hasil penelitian tersebut dapat digunakan pemerintah untuk meregulasi dan memberikan pedoman kepada publik.
“Regulasi harus tetap memberikan ruang untuk perubahan sebagaimana sains juga terus berkembang. Dalam proses ini, publik harus sadar akan perubahan-perubahannya. Akses terhadap perkembangan sains dapat dipenuhi dengan memastikan bahwa produk ini terjangkau oleh masyarakat,” ujar Bahtiar.
Namun, apabila pemerintah tetap menolak produk inovasi tanpa dilandasi kajian ilmiah, itu merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia, seperti hak atas informasi, sains, dan menentukan nasib sendiri. “Apabila terdapat penelitian yang menyatakan bahwa produk pengurangan risiko lebih berbahaya dari pada rokok, maka pelarangan produk tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Bagaimana pun juga, publik harus diberitahu mengenai keputusan dan alasannya,” ujarnya.
Gagasan serupa juga pernah diutarakan oleh para peneliti, dokter, ilmuwan, dan berbagai pemangku kepentingan yang berasal dari seluruh dunia pada Forum Nikotin Dunia atau Global Forum on Nicotine (GFN) ke-7.
Anggota dari Coalition of Asia-Pacific Tobacco Harm Reduction Advocates (CAPHRA), Clarisse Virgino, mengatakan jika kebijakan pelarangan produk inovasi diberlakukan, seperti terhadap produk tembakau alternatif.
Maka akan mempengaruhi jutaan orang yang berusaha berhenti merokok dan merampas hak mereka untuk beralih ke produk yang lebih rendah risiko.
Sementara itu, hasil penelitian Universitas Indonesia (UI) terbaru, rokokalternatif seperti produk elektronik malah akan memberi beban kesehatan ganda penggunanya.***