Kebijakan Cukai Membutuhkan Suara Konsumen

Kebijakan tembakau yang sedang dalam perumusan ini menjadi pergolakan di antara para pengamat. Beberapa pengamat melihat perumusan kebijakan tembakau masih belum optimal karena mengabaikan aspek konsumen sebagai pemegang hak yang terlupakan. Pegiat advokasi konsumen di Indonesia menekankan pentingnya perumus aturan agar memasukkan suara hati konsumen dalam menetapkan aturan, terutama harga cukai dan pengendalian tembakau di Indonesia.

“Hak-hak partisipatif dan advokasinya belum diakomodir secara maksimal. Sehingga konsumen produk tembakau sering distigma sebagai beban negara atau warga negara kelas dua,”

kata Ketua Bidang Advokasi dan Edukasi Pakta Konsumen Ary Fatanen (21/9/2022)

Ary menambahkan, penyusun kebijakan tembakau sering kali memosisikan konsumen sebagai objek peraturan. Pemerintah mengatur sang objek ini secara searah. Padahal, konsumen tembakau dalam memenuhi kebutuhan nikotinnya aktif berkontribusi ke pemasukan cukai negara yang menyentuh ratusan triliunan rupiah per tahun.

Dampaknya

Perumusan kebijakan yang tidak mengundang konsumen–baik individual maupun kelompok–berpotensi melanggar asas demokrasi Pancasila. Aturan yang disusun harus mengikuti sila keempat Pancasila dengan mengangkat asas permusyawaratan/perwakilan. Aturan yang hanya berdasarkan keinginan penyusun kebijakan tidak akan merefleksikan keadilan. Alhasil, kebijakan yang terbentuk bersifat represif dan menekan konsumen bagaimanapun juga kondisi mereka saat ini dan di masa depan.

Kebijakan ruang tanpa rokok juga menjadi perhatian bagi para pengamat. Pakta Konsumen menilai, perumusan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok belum melibatkan sisi konsumen dan pedagang kaki lima. Padahal, konsumen dan orang yang akan terdampak dari kebijakan tersebut perlu mendapatkan porsi suara untuk menyuarakan pendapatnya terkait usulan kebijakan dan dampak yang akan ia terima sekiranya aturan tersebut jadi.

2023 Semakin Gelap

Indonesia diramalkan akan memasuki fase ekonomi yang gelap gulita di tahun depan. Menteri Keuangan Sri Mulyani hingga Presiden Republik Indonesia Joko Widodo ikut meramaikan narasi ini sehingga publik semakin yakin kalau ekonomi global dan nasional akan memasuki fase sulit. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan rakyat mengingat ancaman dan risiko ekonomi yang terjadi: harga kebutuhan melambung tinggi, pemutusan hubungan kerja (PHK), keamanan lingkungan sekitar, dan lain-lain.

Seluruh masyarakat sudah tentu menuntut pemerintah agar adil dan mempertimbangkan kondisi rakyat dalam menyusun aturan. Jangan sampai, untuk mengejar target yang masih panjang, harus mengorbankan keamanan rakyat dalam jangka waktu terdekat, mengingat kondisi global dan nasional masih tidak baik-baik saja. Keputusan untuk menaikkan cukai dan pengamanan tembakau berasal dari pandangan ahli untuk menurunkan prevalensi perokok. Namun, apakah langkah tersebut efektif?

Nyatanya, cukai yang naik hanya akan memaksa warga yang sudah tidak bisa lepas dari nikotin untuk membatasi konsumsinya, mengurangi pengeluaran lainnya, beralih ke produk yang murah (bisa jadi ilegal dan tidak aman), meningkatkan risiko PHK buruh tembakau, hingga menurunkan minat investor industri tembakau di luar negeri.

Baca juga:

Kenaikan Cukai: Banyak Mudharatnya?

Cukai Rokok Elektrik Sistem Terbuka vs. Tertutup