INFO NASIONAL — Rokok elektrik adalah produk industri legal di Indonesia. Sejak 2015 sampai sekarang, kepopulerannya kian menyaingi rokok konvensional. Beberapa kontroversi mengenai rokok elektrik lebih banyak membahas soal kekhawatiran akan keamanan perangkat vape dan adanya penggunaan bahan adiktif yang berbahaya. Walaupun ada banyak anggapan dan klaim yang menyebutkan bahwa risiko kesehatan rokok elektrik lebih rendah dan dapat membantu penggunanya berhenti merokok, sehingga produk rokok elektrik semakin digemari. 

Terlepas kedua posisi yang membayangi itu, ada beberapa potensi yang diperoleh dari industri rokok elektrik ini. Pada 2018 lalu, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan menetapkan tarif cukai untuk vape sebesar 57 persen. Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Nirwala Dwi Heryanto, mengatakan semenjak tarif cukai yang diterapkan kepada roko elektrik, industri ini dapat berkontribusi meningkat. Sehingga menyerap komoditi tembakau mentah dalam negeri.

“Kontribusi HPTL (Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya) khususnya didominasi dari vape. 2019 sudah mencapai 427 miliar. Ini menurut saya perkembangannya cukup bagus karena pemesanan pita cukainya sendiri sudah 542 miliar,” tuturnya dalam Dialog Industri virtual Tempo Media Grup bertajuk Ketahanan Industri UMKM Vape di Tengah Pandemi COVID-19 pada Selasa, 19 Mei 2020.

Hal senada diutarakan I Gusti Putu Suryawiryawan, Staf Khusus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Menurut dia, rokok elektrik ini diharapkan memiliki proyeksi besar bagi industri 4.0 di Indonesia sebagai produk tembakau alternatif. “Vape ini memiliki potensi besar. Karena kadar nikotin yang bisa diukur dengan baik. Ini diharapkan dapat nilai tambah tembakau sebagai perusak bisa dikurangi. Masalah yang dihadapi adalah masalah standar dari produk ekstrak itu,” ujarnya.

Sebab, menurut dia, akan sulit bergerak jika standar tidak ada. “Standar ini yang akan menentukan insentif. Saat ini pemerintah memberikan langkah-langkah khusus seperti subsidi bunga kredit 100 triliun, termasuk UMKM (usaha mikro kecil dan menengah) vape pada saat pandemi ini,” ucapnya.

Direktur Direktorat Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar, Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, Supriadi, menilai prioritas industri vape adalah jaminan kepastian usaha. “Meskipun investasi rokok elektrik itu terbuka, tetapi belum diberikan kepastian. Investor pun takut jika semisal sudah investasi besar tapi ujungnya dilarang,” ucapnya.

Menurut dia, perkembangan industri ini berkembang pesat. Ada 50 ribu orang yang menggantungkan hidup dari vape ini. Mulai dari produsen liquid sampai pengecer. Mayoritas adalah UMKM. “Di tahun 2017 saja vape store ada 4 ribu outlet dan 900 ribu pengguna, di 2018 penggunanya 1,2 juta, dan 2020 ini saya tidak tahu dalam kondisi covid, ada sekitar 2,2 juta. Kita harus melindungi itu,” tuturnya.

Indonesia sendiri sampai saat ini belum mempunyai payung hukum terkait industri vape. Meskipun menurut Adisatrya Suryo Sulisto, Anggota Komisi VI DPR RI, saat ini justru waktu yang tepat  bagi pemerintah menata industri yang mayoritas pelakunya orang muda tersebut. “Momentumnya bagus karena industrinya masih muda. Selanjutnya apakah harus masuk prolegnas lewat RUU Pertembakauan jangka menengah 2020-2024, meski saat ini belum ada panitia yang ditentukan. Kita harus mendorong penelitian ilmiah. Agar memberikan keyakinan kepada kita untuk segera membahas RUU ini,” ucapnya.

Sumber: https://nasional.tempo.co/read/1344405/masa-depan-industri-vape-di-indonesia/full&view=ok