Keinginan untuk mengangkat produk vape lokal memotori dibentuknya Vapeindo. Namun, ternyata edukasi terkait vape masih kurang di kalangan masyarakat. Peran tersebut menjadi dasar lain terbentuknya komunitas Vapeindo. 

Berangkat dari hal itu, Vapeindo secara konsisten menggunakan media sosial Instagram, Facebok, Line, Telegram dansitus vapeindo.net sebagai wadah untuk mempromosikan soal produk vape, hingga penelitian-penelitian ilmiah guna mengedukasi terkait vape bahkan Vapeindo.net berencana merilis aplikasi andoridnya. Semangat Vapeindo dalam mengedukasi vapers dan perokok yang ingin beralih, tentu tidak berhenti sampai di situ. Bahkan, Vapeindo menyiasati dengan menyediakan kontak whatsapp-nya untuk khalayak umum yang ingin beralih ke vape ataupun sekadar ingin tahu tentang vape.

Upaya intensitas dalam mengedukasi inilah yang membuat tim Inovasi Tembakau tertarik untuk berbincang-bincang dengan pendiri Vapeindo. Selain itu, keinginan untuk menggali lebih jauh terkait sepak terjang Vapeindo dalam mengubah persepsi negatif, serta menangkal hoaks seputar vape di kalangan masyarakat. Agenda wawancara ini disambut hangat oleh Pak Ahwang, pendiri Vapeindo dan ia pun meluangkan waktu di sela-sela kesibukannya untuk berbagi cerita dengan Inovasi Tembakau. 

Edukasi yang minim

Hari pertama Vapeindo terbentuk pada 2015 anggotanya sudah mencapai sekitar 400-an orang yang tergabung. Tidak heran jika sampai sekarang anggota Vapeindo diperkirakan mencapai puluhan ribu orang. 

Perkumpulan tersebut dimulai dari adanya peran antara pengguna dan penjual yang dilakukan secara online. Awalnya Ahwang terinspirasi dari produk-produk lokal yang belum bisa diperjual belikan di Vape Store. “Hampir 100% semua produk dikuasain sama produk impor, liquid dan device-nya, liquid Amerika, Malaysia. Device China sama Amerika, Eropa jarang” ujar Ahwang melalui telepon, Rabu (14/09) 

Namun, Ahwang menyadari bahwa kesulitan terjadi bukan berkutat pada produk saja, melainkan edukasi terkait vape itu sendiri. Mulai dari cara penggunaan vape yang benar dan ketentuan penggunaan saat di tempat umum. Berangkat dari hal tersebut, Ahwang mulai membuat content yang membahas soal edukasi terkait vape itu sendiri. “Edukasinya waktu itu masih parah banget kan, jadi akhirnya kita bikin beberapa content yang membahas tentang edukasi” ujar Ahwang 

Pada masa itu hingga kini, mitos tak hentinya dilakukan dengan cara yang sama dari beberapa organisasi sampai individu untuk mematikan vaping. Adapun informasi yang beredar antara lain; vaping menyebabkan kanker atau lebih berbahaya, vaping itu kimia, vaping berbahaya karena bisa meledak, dan ada larangan vape oleh beberapa organisasi. 

Persepsi Buruk

Untuk mengatasi persepsi buruk, Vapeindo harus melawan berita hoaks yang beredar tersebut. Siasat yang dilakukan pun beragam, Vapeindo menyaring individu-individu yang ingin berhenti merokok, salah satunya dengan cara mengundang ke obrolan grup. Dari situ, individu tersebut akan membaca sendiri informasi relevan yang dibagikannya. 

Vapeindo juga giat dalam mengumpulkan penelitian-penelitian ilmiah terkait Vape, dan perkumpulan antara vapersmemberikan dampak positif untuk saling memberikan informasi terkait manfaat dari penggunaan vape itu sendiri.  Namun, salah satu kegiatan acara “Sharing Session” yang dilakukan oleh Vapeindo pun, bukan hal yang mudah. “Ini problem-nya, masyarakat yang non vapers, mereka nggak mau tahu. Kita nggak bisa mengedukasi orang yang tidak kita kenal, yang kenal saja, susah. Jadi, harus ada niatan, baru bisa” ujar Ahwang

Terlebih lagi adanya kecenderungan masyarakat untuk saling mengikuti perilaku di lingkungannya. Jika dirasa lebih banyak orang yang merokok, berpengaruh besar terhadap minimnya orang untuk tertarik pindah ke penggunaan vape. Begitu pun, bila orang sekitar lebih banyak menggunakan vape, maka mempengaruhi lainnya untuk mencoba alternatif produk yang lebih rendah risiko.

Harus Ada Niatan

Proses yang begitu sulit dirasa Vapeindo untuk meyakini masyarakat nonvapers. Bagi Vapeindo, cara yang tepat yaitu mengusahakan untuk mencari vapers lebih banyak. Dengan menekankan vapers yang berperilaku baik dan tidak sembarangan, untuk memudahkan menjadi contoh vapers ideal. Tak luput dari situ saja, vapers ideal merupakan orang yang mampu untuk berhenti merokok–tidak memakai keduanya dan mengetahui aturan, seperti di tempat umum,“Sebenarnya vapers yang ideal itu, dia tahu tempat ini nggak boleh vaping, ya jangan vaping disitu” ujar Ahwang

Seperti kisah Ahwang yang sudah menjadi perokok berat hingga 20 tahunan. Lingkup keluarga yang banyak berprofesi sebagai dokter, menjadi titik balik keinginannya untuk berhenti merokok. Namun, segala cara telah dilalui mulai dari makan permen, akupunktur, hingga mengikuti program rehabilitasi. “Saya dulu sehari tuh bisa 1-3 bungkus” ujar Ahwang

Usahanya untuk berhenti pun, akhirnya mengantarkan Ahwang untuk menggunakan vape. Kemudian, faktor teman yang lebih dulu vaping, pun mendukungnya untuk beralih ke vape. “Saya dulu struggle sih (berhenti merokok) 6 bulan. Kebiasaan mencium aroma rokok. Ini (Vape) lebih nggak candu, saya nggak vaping, dulunya saya ngobrol pasti ngeluarin rokok. Tingkat kecanduan berkurang” tambahnya

Penyalahgunaan Produk

Sebagai komunitas, Vapeindo selalu memberikan masukan, seperti melalui asosiasi Asosiasi Vaper Indonesia (AVI) dan Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI). Secara masif, Vapeindo melakukan kegiatan pengumpulan data untuk diberikan kepada vapers dan masyarakat lainnya. 

Namun, kendala pada sebatas komunitas, Ahwang mewakili Vapeindo berharap pemerintah bisa tegas terhadap penyalahgunaan produk tembakau di bawah umur. “Sebenarnya yang sangat kita takuti di industri ini (baik rokok maupun vape) adalah masalah penyalahgunaan produk. Baik anak dibawah umur dan yang menjual produk ke anak dibawah umur” ujar Ahwang.Permohonan terhadap ketegasan pemerintah bagi Ahwang penting untuk ditekankan. Terlebih sebagai produsen, tentu tidak ingin anak di bawah umur melakukan vaping maupun merokok.