Meski pengguna produk tembakau alternatif di Indonesia terus bertambah, namun hingga kini pemerintah belum juga mengatur produk dengan konsep pengurangan bahaya (harm reduction) tersebut melalui regulasi khusus.

Ahli toksikologi dari Universitas Airlangga, Shoim Hidayat kembali menegaskan pentingnya kajian ilmiah sebagai rujukan dalam pembuatan regulasi produk tembakau alternatif.

Menurutnya, Indonesia bisa menggiatkan penelitian ilmiah dalam negeri maupun mengacu pada penelitian yang sudah lebih dulu dilakukan oleh beberapa lembaga independen di beberapa negara.

“Menurut saya, membuat kebijakan yang berdasarkan benchmark di luar negeri sah saja. Membuat keputusan berdasarkan benchmarking tersebut adalah metode yang kerap digunakan pemerintah dalam menentukan arah kebijakan,” kata Shoim kepada wartawan dalam diskusi virtual ditulis Selasa (22/12/2020).

Sebagai contoh, Inggris merupakan salah satu negara yang sudah mengatur penggunaan produk tembakau alternatif. Selain itu, Inggris juga telah melakukan kajian ilmiah terhadap produk tersebut.

Public Health England, divisi dalam Departemen Kesehatan dan Pelayanan Sosial di Inggris, pada 2018 lalu mempublikasikan kajian ilmiah yang berjudul “Evidence Review of E-Cigarettes and Heated Tobacco Products”.

Berdasarkan hasil riset itu, produk tembakau alternatif lebih rendah risikonya hingga 95% dibandingkan dengan rokok.

Shoim melanjutkan Pemerintah Indonesia sampai saat ini belum melakukan kajian ilmiah dalam negeri terhadap produk tembakau alternatif, sementara angka penggunanya terus bertambah.

Adapun beberapa peneliti dalam negeri sudah mulai melakukan studi, namun masih sangat sedikit.

Padahal, kajian ilmiah sangat diperlukan sebagai dasar bagi pemerintah untuk menyusun regulasi khusus sehingga dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen, yaitu perokok dewasa yang ingin beralih dari rokok ke produk lebih rendah risiko kesehatan ini.

“Studi banding berperan penting sebagai dasar pemerintah mengambil keputusan. Jadi, sah-sah saja kalau kita menggunakan data yang ada dari luar negeri jika belum banyak penelitian lokal tersedia,” tegas Shoim.

Belum lama ini, Shoim melakukan kajian literatur yang berjudul “Profil Kandungan dan Perbandingan Senyawa Kimia Toksik antara Aerosol dari Produk Tembakau yang Dipanaskan dengan Asap Rokok yang Dibakar”.

Shoim menjelaskan kajian literatur tersebut dilakukan untuk membuktikan apakah produk tembakau alternatif, terutama produk tembakau yang dipanaskan memang lebih rendah risiko kesehatan dibandingkan dengan rokok.

“Informasi awalnya, produk tembakau yang dipanaskan mempunyai risiko lebih rendah karena menerapkan prinsip harm reduction dan itu membuat saya ingin meneliti lebih lanjut. Ternyata dari hasil kajian ilmiah, mayoritas menyebut kandungan senyawa toksik pada produk tembakau yang dipanaskan lebih rendah (70-99%) daripada rokok,” ungkapnya.

Dengan kajian literatur tersebut, Shoim berharap semakin memperbanyak informasi mengenai produk termbakau alternatif, khususnya produk tembakau yang dipanaskan. Oleh karena itu, pemerintah harus segera merealisasikan kajian ilmiah produk tembakau alternatif di dalam negeri.

“Semakin banyak kajian yang dilakukan, maka makin menambah khasanah kita dan kesimpulan jadi makin akurat,” ujar Shoim.

Sebelumnya, Peneliti Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP) Amaliya, mengatakan informasi akurat mengenai produk tembakau alternatif di Indonesia masih minim. Informasi yang keliru justru sangat masif.

“Banyak hoax yang sangat berbahaya, dan kami mencoba meluruskan misinformasi tersebut dengan secara aktif melakukan penelitian dan mempublikasikan hasilnya kepada publik. Tujuannya adalah memberikan fakta yang benar dan bermanfaat bagi berbagai pemangku kepentingan,” ujar Amaliya yang menjadi salah satu pembicara dalam konferensi ilmiah internasional “Scientific Summit ke-3” pada September lalu.

Sumber: https://www.suara.com/bisnis/2020/12/22/170258/produk-tembakau-alternatif-perlu-ada-regulasi-khusus?page=all