Pengesahan Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) yang dilakukan pada akhir Oktober 2021 lalu telah diratifikasi menjadi UU Nomor 7 Tahun 2021.

UU yang memiliki sembilan bab dan enam ruang lingkup pengaturan itu turut mencantumkan produk Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) dalam skema cukai.

Meskipun masuknya UU HPP dapat dibilang bentuk rekognisi dari pemerintah terhadap industri HPTL, Pakar Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah beranggapan industri ini belum mendapat dukungan yang cukup dari pemerintah.

“HTPL jarang dapat pembinaan dan support dari pemerintah, dikenai pajak tapi belum ada pembinaan. Pemerintah lupa bahwa banyak juga produk illegal yang beredar. Harusnya dibuat pengaturan sendiri, perlu ada pembinaan, kalau tidak nanti cukainya tinggi, tiap tahun naik terus,” jelas Trubus pada Rabu (1/12/2021).

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad mengungkapkan pemerintah masih memiliki ruang perbaikan yang cukup signifikan dalam menciptakan iklim usaha yang setara untuk produk HPTL.

Kebijakan PMK yang sekarang menurutnya, produk HPTL terlihat masih belum proporsional antara Harga Jual Eceran (HJE) cartridge (vape sistem tertutup) dan cair (vape sistem terbuka).

Jika dibandingkan dengan produk Sigaret Putih Mesin (SPM) golongan 1, jarak tarif cukai antara cartridge dan cair terlampau jauh, yakni 91 persen dan 6 persen secara berurutan.

“Hal inilah yang menyebabkan insentif bagi pelaku di produk HPTL cair namun disinsentif bagi lainnya. Padahal cartridge menjadi salah satu pintu masuk peralihan dari konsumen sigaret ke HPTL,” jelas Tauhid.

Tauhid melanjutkan, diperlukan adanya penyesuaian terhadap PMK dari ad valorem menjadi spesifik.

Tujuannya agar tujuan pengendalian, penerimaan negara, perkembangan industri dan kesehatan dapat lebih optimal.

Perlu Penyesuaian

Di samping itu, dari segi peraturan minimum penjualan yang diatur dalam PMK Nomor 176/PMK.04/2020, tercatat minimum penjualan untuk cartridge adalah dua kemasan.

“Artinya, jika harga satuan cartridge mencapai Rp 30.000, pengguna harus merogoh kocek setidaknya Rp 60.000 dalam sekali pembelian,” jelasnya.

Jumlah tersebut menurutnya sangat timpang jika dibandingkan dengan produk ekstrak dan esens tembakau lain, seperti batang dan kapsul, di mana harga masing-masing hanya sekitar Rp1.350 per barang.

Dengan minimal pembelian 20 batang, pengguna produk HPTL batang hanya perlu membayar pada kisaran Rp27.000.

Di sisi lain, pengguna produk kapsul hanya perlu mengeluarkan sekitar Rp6.750 untuk pembelian minimal 5 kapsul.

“Perbedaan harga yang tinggi mengindikasikan perlunya penyesuaian skema cukai, salah satunya dapat berupa penyesuaian jumlah minimal kemasan untuk varian cartridge menjadi lebih kecil,” jelasnya. 

“Sehingga memberikan kebebasan perusahaan untuk menyesuaikan produknya,” tutupnya.


Sumber: https://wartakota.tribunnews.com/2021/12/01/ruu-hpp-disahkan-pakar-kebijakan-publik-trisakti-nilai-industri-hptl-belum-didukung-pemerintah