Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) berdiri sejak 2013 dan disahkan melalui Kementerian Hukum dan HAM pada 2015. Sebagai asosiasi yang menaungi para pengusaha di industri vape, APVI memiliki tujuan untuk advokasi regulasi bagi industri vape.

Adalah Aryo Andrianto, yang akrab disapa Aryo, Ketua APVI yang menemani Inovasi Tembakau untuk berbincang mengenal APVI secara lebih dekat. Berbagai cerita dibagi, mulai dari bagaimana Aryo mengenal vape hingga bagaimana perkenalan tersebut membawa letupan-letupan dalam dirinya untuk menekuni industri vape secara lebih mendalam.

Mengenal vape sejak tujuh tahun lalu

“Sudah sejak tujuh tahun lalu, waktu itu dikenalkan oleh kakak ipar,” pungkas Aryo mengawali ceritanya saat pertama kali mengenal vape. Impresi yang Aryo rasakan saat itu adalah bagaimana vape memiliki rasa yang enak dan bagus untuk digunakan sebagai alternatif berhenti merokok. Sebagai seorang perokok sejak duduk di bangku SMP, daya tarik dari sisi kesehatan membuat Aryo mencoba sepenuhnya beralih. Dengan menggunakan vape, Aryo merasakan dampak yang signifikan, dalam mana, napasnya menjadi lebih ringan dan lebih nyaman ketika berolahraga.

Tidak hanya aspek kesehatan, karena sebagai seorang pebisnis, Aryo dapat melihat peluang yang signifikan bagi industri vape di masa mendatang. Karenanya, ia ingin membagikan ke banyak orang tentang bagaimana vape dapat berguna bagi orang banyak sebagai alternatif berhenti merokok. Tidak segan-segan, untuk mewujudkan visi tersebut, ia telah meninggalkan berbagai bisnis yang telah digelutinya dan memilih fokus pada industri vape.

Dalam perjalanannya mengenal vape, Aryo mengaku beragam persepsi muncul dari orang-orang di sekitarnya, apalagi jumlah vapers yang masih sedikit. Karenanya, Aryo menilai pentingnya bergabung dengan komunitas untuk saling berbagi ilmu. “Dulu masih susah, ya. Teman-teman komunitas sepakat untuk bagaimana menyosialisasikan vape ke orang-orang terdekat, sehingga mereka punya pengertian kalau vape ini aman,” jelas Aryo. Meskipun ia menerima respons negatif, tidak jarang orang-orang terdekat Aryo penasaran dengan vape karena bentuknya yang beragam dan unik, mulai dari yang berbentuk seperti rokok, cerutu, pen, pipa, dan bentuk-bentuk lainnya yang justru sulit ditemukan saat ini.

Bergerak untuk rekognisi

APVI didirikan sebagai respons atas minimnya regulasi vape di Indonesia. Tujuannya, industri vape mendapatkan pengakuan dari Pemerintah dan membuat aturan tentang vape. “Sebagai warga negara Indonesia, tentu kami ingin dinaungi oleh Pemerintah meskipun ini adalah bisnis yang masih baru,” tutur Aryo.

Advokasi pertama yang dilakukan APVI adalah perihal cukai. Dalam mana, proses advokasi tersebut memakan waktu hampir satu tahun melalui diskusi bersama Bea Cukai. Pada akhirnya, advokasi tersebut membuahkan hasil dengan ditetapkannya cukai vape sebesar 57 persen pada 2018. Meskipun angkanya terbilang sangat besar, APVI menganggap hal tersbebut sebagai batu loncatan karena yang terpenting saat itu adalah bagaimana Pemerintah akhirnya mengakui industri vape. Tentu saja, harapan ke depan, aturan-aturan tersebut tidak akan memberatkan vapers dan pengusaha.   

Saat ini, APVI sudah memiliki lebih dari seribu anggota di berbagai daerah. Anggota-anggota tersebut dinaungi oleh sekitar 11 Dewan Perwakilan Wilayah (DPW) dan sekitar 20 Dewan perwakilan Daerah (DPD) APVI. Selain menaungi para pengusaha vapers, APVI juga memiliki Sahabat APVI di berbagai daerah yang menaungi teman-teman komunitas vapers.

Sebagai sebuah asosiasi yang bergerak untuk advokasi, APVI memiliki beberapa fokus program, seperti standardisasi (SNI), sosialisasi edukasi vape, dan pengembangan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM). Dalam pengembangan kapasitas SDM, vaporista dan pengusaha menjadi fokus utama bagi APVI karena mereka yang akan menjadi ujung tombak industri dan berhadapan langsung dengan konsumen. Oleh karena itu, mereka perlu dibekali dengan pengetahuan produk dan ilmu pemasaran. Dengan demikian, akan meminimalkan kesalahan informasi yang diterima konsumen.

Selain memiliki program tersendiri, APVI juga bekerja sama dengan asosiasi-asosiasi lainnya. APVI merangkul asosiasi-asosiasi yang ingin memiliki peran aktif untuk advokasi ke Pemerintah dan memajukan industri melalui sebuah paguyuban asosiasi vape nasional.

Bagi APVI, tantangan terbesar dalam menjalankan program adalah adanya black campaign dan bagaimana menigkatkan kepercayaan masyarakat. Meskipun saat ini pemberitaan negatif dan hoax tentang vape sudah menurun, tetapi seiring perkembangan industri, ancaman black campaign bisa saja kembali. Oleh karena itu, kepercayaan masyarakat menjadi sangat penting. “Kami terus memperjuangkan SNI karena salah satu tujuannya adalah meningkatkan kepercayaan masyarakat tentang produk ini,” jelas Aryo.

Standardisasi untuk industri yang lebih baik

Dalam melakukan advokasi terhadap standardisasi vape melalui SNI, APVI mendahulukan liquid sebagai bagian yang memiliki sedikit komponen, sehingga prosesnya akan lebih mudah. “Kalau kami ambil device, akan sulit karena komponennya banyak dan berbeda-beda,” tutur Aryo.

Melalui SNI, APVI berharap UMKM dapat memiliki standardisasi yang bagus, bukan malah memberatkan mereka. Dengan standardisasi yang baik, kualitas produk tentu akan terjamin dan akan memberikan dampak yang baik pula bagi keseluruhan industri. Pun sebaliknya, jika standarnya tidak baik, maka akan berimplikasi negatif pada pengguna.

Dalam advokasi SNI, Aryo mengaku prosesnya tidak berjalan sederhana. Banyak terjadi penolakan saat awal-awal proses advokasi karena standardisasi tidak dianggap berpihak terhadap konsumen. “kami sosialisasi terus-menerus dan akhirnya mereka mengerti karena melihat bagaimana standardisasi memiliki dampak yang positif,” terang Aryo. Sosialisasi tersebut berjalan dengan baik berkat bantuan perwakilan APVI di daerah-daerah, sehingga sosialisasi dapat dilakukan dengan gaya Bahasa dan pendekatan masing-masing daerah.

HPTL sebaiknya memiliki regulasi tersendiri

Aryo mengatakan, saat ini vape belum masuk ke dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 109 Tahun 2012 tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan. Karenanya, banyak peraturan-peraturan tentang rokok konvensional yang belum bisa diaplikasikan ke vape.

“Sebaiknya dibuat aturan tersendiri, karena ini produk alternatif yang memiliki profil risiko berbeda dengan rokok konvensional. Pemerintah memiliki kapabilitas untuk melakukan riset. Dari sana, kami berharap Pemerintah bisa mengumumkan ke publik secara terbuka tentang bagaimana risiko vape dibandingkan rokok konvensional,” jelas Aryo.

Dari aspek perdagangan, ekspor vape juga menemukan hambatan. Menurut Aryo, dalam praktiknya di lapangan, ekspor produk vape menemukan kesulitan akibat regulasi yang belum jelas. Akibatnya, terdapat pelaku-pelaku usaha yang melakukan ekspor lewat negara lain. “Kami inginnya semua legal. Semakin banyak aturan yang menaungi industri, maka industri ini akan semakin baik dan semakin dewasa,” lanjut Aryo.

Bagi APVI, apapun produk HPTL yang ada di Indonesia, jika memiliki tujuan dan fungsi yang sama sebagai alternatif lebih rendah risiko untuk berhenti merokok, maka perlu dirangkul dan mendapatkan dukungan. Pada akhirnya, konsumen yang akan memilih sesuai selera dan kebutuhan mereka.

Untuk vapers dan Pemerintah

Aryo menekankan pentingnya komunitas dalam industri vape. Baginya, industri dapat berkembang sampai saat ini karena komunitas. Oleh karena itu, penting untuk menjadi duta bagi vapers, bagaimana vapers dapat memberi hal-hal positif untuk orang-orang di sekitarnya. Aryo percaya, jika satu orang dapat membuat lima orang berhenti merokok, maka dua juta vapers dapat memberi dampak baik bagi sepuluh juta orang. Aryo berharap, vape sebagai industri yang baru dinaungi oleh regulasi yang memihak kepada industri. Regulasi tersebut dapat dirumuskan dengan baik, tidak terburu-buru, dan hasilnya dapat diaplikasikan serta tidak merugikan konsumen maupun pengusaha. “Kami mendukung visi Pemerintah untu meningkatkan ekonomi melalui UMKM. Oleh karena itu, regulasi yang belum jelas justru akan menghambat penggerak dalam industri yaitu UMKM,” pesan Aryo dalam menutup perbincangan siang itu.