Walaupun penerapan pengurangan dampak buruk (PDB) sudah diterapkan masyarakat Indonesia, seperti menggunakan helm dan sabuk pengaman, Pengurangan Dampak Buruk Tembakau (PDB Tembakau) masih belum sepenuhnya diterapkan di Indonesia. Padahal, di Indonesia sudah tersedia banyak pilihan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL) seperti vape, tembakau yang dipanaskan (HTP), dan kantung nikotin. 

Kurangnya penelitian yang akurat

Pemerintah Indonesia masih belum mengeluarkan riset resmi terkait HPTL.

“Harusnya pernyataan ini (risiko HPTL) tidak berujung pada pro dan kontra, tapi dikaji lebih lanjut dan kajian tersebut akan lebih baik jika diinisiasi oleh pemerintah dan melibatkan dunia usaha,” ungkap Ariyyo Bimmo, Ketua KABAR (Koalisi Bebas Tar). Sumber: Koran Sindo, 23 April 2021.

Berbeda dengan Pemerintah Britania Raya atau Selandia Baru yang rajin menerbitkan studi terkait manfaat dan risiko HPTL. Kedua negara yang terkenal dengan penggunaan vape-nya ini berhasil menurunkan angka perokok menjadi 14.1 persen dan 11. 6 persen.

Baca juga: Penelitian Public Health England: Rokok Elektrik 95 persen lebih aman

Diperlakukan sama seperti rokok

Seperti yang dilansir KANTAR dan Health Diplomats, 54 persen masyarakat Indonesia beranggapan bahwa vape memiliki risiko yang sama dengan rokok. Angka ini tidak mengherankan, karena produk HPTL masih diperlakukan sama dengan rokok, tidak heran jika Sebagian orang beranggapan demikian. 

Berbeda dengan kebijakan HPTL di Negeri Sakura. Kawasan penggunaan, peringatan kesehatan, dan penarikan pajak untuk produk HTP berbeda dengan rokok konvensional. Akibatnya, HTP bisa lebih diterima di Masyarakat dan angka perokok turun 34 persen sejak 2013.

Tanpa dilengkapi dengan kebijakan yang mengedepankan PDB Tembakau, seperti riset yang akurat, edukasi yang memadai, dan regulasi yang sepadan, manfaat produk rendah risiko belum bisa dimaksimalkan. Untuk itu, pemerintah dapat belajar dari negara-negara lainnya yang berhasil menekan jumlah perokok nya.