Tigersnus adalah pelopor snus di Indonesia. Merintis ide sejak 2016, snus akhirnya hadir di pasar Indonesia tahun 2019. Berbeda dengan rokok konvensional dan produk HPTL yang lain, snus tidak memiliki uap maupun asap, serta digunakan untuk memenuhi kebutuhan nikotin melalui tembakau asli yang dimasukkan dalam kantung-kantung.  

Berangkat dari persoalan perokok pasif

Josephine Ais Widya Rahardjo, Retail, Marketing, dan Konsultan Bisnis Tigersnus menceritakan bahwa ide snus di Indonesia berangkat dari keresahan Tigersnus terhadap perokok pasif, yang umumnya didominasi oleh ibu-ibu dan anak-anak. Dalam mana, anak-anak rentan untuk meniru kebiasaan orang tuanya dalam merokok. Karenanya, pemahaman akan pentingnya kesehatan perlu dibentuk sedari dini.

Keresahan lainnya juga hadir karena semakin minimnya ruang publik untuk perokok. Di saat yang sama, ruang publik untuk vaping juga masih dibatasi. Pada akhirnya, rintisan ide dan tahap demi tahap riset dan pematangan produk, serta pengajuan regulasi mulai dilakukan hingga Tigersnus berhasil memasarkan produknya.

Snus sendiri memiliki sejarah yang panjang di dunia, bahkan sudah mengakar sebagai budaya. Kisah Colombus saat menemukan benua Amerika hingga bagaimana tembakau mulai digunakan oleh para bangsawan di Eropa sejak abad 18 menjadi pembuka cerita Josephine.

“Karena saat itu tembakau tidak ada di Eropa, alhasil harganya menjadi mahal dan hanya bisa dikonsumsi bangsawan. Akhirnya, banyak orang mulai melakukan pasteurisasi, tembakau dilinting dan dimasukkan ke mulut tanpa lapisan apa pun. Inilah yang kemudian disebut dengan loose snus. Cara pakainya seperti nginang,” jelas Josephine.

Sementara di Indonesia, snus serupa dengan tradisi nginang sirih yang sudah ada sejak abad ke 3. Akan tetapi dibandingkan dengan Eropa dan Amerika, snus masih belum banyak dikenal di Indonesia.

Snus di Indonesia

Berbeda dengan snus di Swedia, Norwegia, dan negara lainnya, snus Indonesia diproduksi secara semi automasi dan masih melibatkan tangan-tangan manusia untuk pengerjaan produknya. Selain itu, bahan yang digunakan adalah organik dari tembakau asli yang tidak menggunakan pestisida. Karenanya, snus di Indonesia dapat memperluas kesempatan kerja bagi para petani tembakau dan orang-orang di sekitar. Karakteristik cita rasa lokal juga menjadi keunggulan tersendiri. Snus Indonesia hadir dengan varian rasa original, cengkeh, dan peppermint.

Berbasis di Bali, pasar snus Indonesia saat ini didominasi oleh turis-turis yang datang serta pemesanan dari berbagai negara melalui website. Produk snus dalam kemasan kaleng banyak menjadi pilihan para turis karena memiliki kadar ikotin yang tinggi. Sementara itu, untuk menjangkau pasar Indonesia, Tigersnus mulai meluncurkan snus dalam kemasan sachet yang kadar nikotinnya lebih rendah dan disesuaikan dengan kandungan nikotin dalam satu bungkus rokok di Indonesia.

Secara umum, produk snus Indonesia ini telah dipasarkan ke beberapa negara, seperti Australia, Jerman, Amerika, dan benua Eropa. Untuk pengiriman dalam negeri, Tigersnus telah memenuhi permintaan konsumen dan mengirimkan produk ke Jakarta, Papua, dan Jawa Timur. Harapannya, snus dapat semakin dikenal oleh masyarakat Indonesia dan dapat berkembang di luar Bali.

Sebagai produk yang masih baru di Indonesia, Tigersnus mengaku masih menghadapi berbagai tantangan, terutama soal edukasi produk untuk masyarakat usia muda. “Tantangannya lebih pada edukasi konsumen dan marketingnya. Bagaimana mendorong masyarakat untuk mencoba snus dan beralih dari rokok konvensional agar leboh rendah risiko dan aman untuk lingkungan sekitar. Biasanya, rokok tanpa asap identik dengan orang-orang yang sudah lanjut usia,” ujar Josephine diiringi tawa. Padahal, rentang usia pengguna snus di luar negeri adalah 20–50 tahun.

Alternatif berhenti merokok

Cerita sukses berhenti merokok dengan snus datang dari Mr. Kimmo, ahli snus dari Skandinavia. Dalam acara peluncuran produk terbaru Tigersnus, ia berbagi cerita mengenai keberhasilannya. Bahkan, saat ini ia sudah benar-benar berhenti dari rokok maupun snus. Baginya, ketika sudah lama menggunakan snus, kembali ke rokok akan memiliki rasa dan sensasi yang berbeda. Selain itu, penggunaan snus juga dapat diturunkan kadar nikotinnya secara perlahan. Alhasil, bisa mendorong untuk berhenti secara total dari nikotin.

Menghisap dan menghembuskan asap rokok banyak dinilai sebagai sarana untuk menenangkan diri dan mendatangkan inspirasi. Menurut Josephine, yang membantu dalam proses berpikir dan mendatangkan ide tersebut adalah proses menarik dan menghembuskan napasnya. “Kebiasaan untuk menghisap dan menghembuskan asap rokok, dapat dialihkan ke kebiasaan yang lebih positif, misalnya yoga dan meditasi,” tambah Josephine.

Berbagai upaya untuk edukasi masyarakat agar beralih ke produk HPTL yang lebih rendah risiko mulai dilakoni Tigersnus. Saat ini, Tigersnus telah bekerja sama dengan Jegeg Vape Bali untuk melakukan tes pasar. Selain itu, pendekatan dengan toko vape lainnya juga mulai dilakukan dengan menghadirkan snus di toko-toko tersebut. Hasilnya, antusiasme masyarakat terhadap snus mulai berkembang, terutama di kalangan usia dewasa muda. Harapannya, snus dapat mengganti kebutuhan nikotin ketika tidak memungkinkan untuk vaping, misalnya saat sedang meeting. Tigersnus juga telah bekerja sama dengan Pepito, supermarket di Bali untuk bisa menempatkan snus di sana sehingga memudahkan konsumen dan calon konsumen untuk menemukan produk tersebut.

“Kita rencananya mau coba ikut komunitas untuk kampanye edukasi, misalnya dengan Gerakan Bebas TAR dan Asap Rokok (GEBRAK!) dan Koalisi Bebas TAR (KABAR). Kalau kami bisa ikut, proses edukasinya juga akan lebih mudah. Kalau sekarang, jangkauan edukasinya masih lokal baru di Bali saja,” pungkas Josephine.

Sebagai alternatif dari rokok, Tigersnus tidak direkomendasikan untuk nonperokok. Meskipun tanpa asap, tidak melalui proses pembakaran, dan tidak ada TAR, snus tetap memiliki kandungan nikotin yang sebaiknya tidak digunakan bagi mereka yang tidak pernah merokok. “Saya tidak merekomendasikan karena nikotinnya tidak bagus untuk nonperokok,” tegas Josephine.  

Menyikapi pandemi dan industri HPTL saat ini

Sama halnya dengan produk HPTL yang lain, kondisi pandemi membawa tantangan yang berat untuk Tigersnus, utamanya karena tidak ada turis yang datang sebagai salah satu konsumen yang penting bagi Tigersnus. Adanya konsumen di luar negeri yang memesan melalui website dapat membantu Tigersnus untuk tetap bertahan di tengah situasi pandemi yang tidak pasti. Meski demikian, konsumen di negara-negara lain tersebut cenderung membeli dalam jumlah yang banyak karena ongkos kirimnya yang cukup mahal. Akhirnya, terdapat jeda pembelian.  

Meski saat ini industri sedang sulit karena pandemi, Tigersnus senang karena sudah banyak produk HPTL yang hadir di Indonesia, mulai dari vape, tembakau yang dipanaskan, snus, dan kantong nikotin. Bagi Tigersnus, hal baik dari industri HPTL adalah karena semakin banyak kompetisi dalam aspek yang positif untuk menghadirkan pilihan-pilihan bagi perokok. Alhasil, semakin banyak alternatif yang tersedia dan membantu para perokok untuk berhenti.

“Perhatian kami adalah ingin menurunkan persentase merokok di Indonesia dengan beralih ke produk HPTL yang lebih rendah risiko agar tidak mengganggu lingkungan serta orang sekitar,” kata Josephine. Tigersnus juga menyampaikan keinginannya untuk berpartisipasi dalam program-program pemerintah dalam membantu menurunkan tingkat perokok. “Kami ingin memberikan kontribusi ke masyarakat dan ingin ikut program-program pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan,” imbuhnya. Untuk mencapai hal tersebut, Tigersnus berharap agar pemerintah dapat mempertimbangkan persenan cukai yang diberikan untuk produk HPTL, guna mendukung keberlangsungan usaha dan upaya mengurangi prevalensi merokok. “Kalau bisa, aturannya dibedakan dengan rokok konvensional,” tutup Josephine.