Bias Kontekstual Kasus Vape di Luar Negeri
Berita negatif soal vape yang ada di media massa umumnya mengangkat kasus yang terjadi di luar negeri. Baru-baru ini, publik gempar akan pemberitaan bahaya rokok elektrik yang mampu membuat seseorang jatuh koma. Lelaki berusia 17 tahun mau tidak mau harus dilarikan ke instalasi gawat darurat rumah sakit setelah mendapati dirinya sesak nafas setelah menggunakan rokok elektrik.
Yang lebih mengejutkan lagi, berita negatif ini menitikberatkan vape atau rokok elektrik sebagai biang utama kerusakan paru-paru lelaki itu. Berita ini membawakan narasi seakan-akan vape adalah benda jahat yang harus enyah dari masyarakat.
Padahal, sumber berita aktualnya menyatakan kalau lelaki tersebut sempat menggunakan liquid jenis THC untuk vaping. Perlu pembaca ketahui, THC atau Tetrahidrocannabinol adalah zat psikoaktif yang berasal dari tanaman ganja/cannabis. Padahal, Lembaga BPOM Amerika Serikat melarang penggunaan minyak THC sebagai campuran liquid untuk vaping. Diketahui, zat inilah yang membuat lelaki 17 tahun tersebut tumbang setelah vaping.
Pemerintah membutuhkan regulasi yang berasal dari penelitian yang objektif dalam merefleksikan kedudukan rokok elektrik. Adanya kebijakan ini, selain membantu pertumbuhan industri, juga akan melindungi konsumen dari ancaman produk ilegal yang membahayakan nyawa. Selain itu, pemerintah bersama dengan peneliti dan media massa perlu membentuk sinergi dalam menciptakan lingkungan informasi yang aktual dan relevan dalam mensosialisasikan risiko rokok elektrik daripada rokok konvensional.
Impor Pemberitaan Kasus
Berita negatif soal vape berulang kali kita dengar di berbagai media massa, baik online maupun offline. Padahal, pengamat kebijakan di luar negeri mewanti-wanti pembaca agar tidak salah kaprah dengan kasus bawaan media online. Pakar kebijakan sangat menekankan pentingnya pemberitaan yang netral dan seimbang demi menciptakan ruang pemberitaan yang transparan dan apa adanya.
“Yang terjadi adalah, fakta fakta [vaping lebih rendah risiko daripada rokok konvensional] tersebut belum sekalipun muncul, terutama oleh pakar kesehatan publik,”
kata Direktur Eksekutif The Coalition of Asia Pacific Tobacco Harm Reduction Advocate (CAPHRA) Nancy (11/4/22).
Nancy sangat prihatin dengan kondisi perumusan kebijakan tembakau yang mayoritas tidak berdasarkan pada bukti ilmiah yang subjektif. Padahal, bukti ilmiah ini penting adanya untuk menghasilkan kesimpulan yang realistis akan risiko rokok elektronik daripada rokok konvensional. Ia mengajak masyarakat agar bisa kritis untuk membaca pemberitaan soal vape, agar tidak ada lagi kesalahpahaman terkait risiko sebenarnya rokok elektrik daripada rokok konvensional.